Bunda, Binar Matamu adalah Surga....
Kemarin, aku pulang ke Bandung. Aku sudah kangen sama ibu. Lagi pula aku ingin liburan, setelah 6 hari full kerja. Saat tiba di rumah, tak ada siapa-siapa, hanya kakaku yang membuka pintu rumah. Setelah menyimpan tas di kuris. Aku rebahan di sofa. Tak lama, aku tertidur lelap di kursi, dibuai nyenyak udara Bandung yang dingin.
Tidurku tiba-tiba terganggu. Sebuah tangan menepuk pundakku. “Subuh, ayo cepet subuh, bentar lagi matahari tiba,” teriak Bunda. Aku tahu Bunda paling sering membangunkanku untuk solat subuh. Ia sepertinya sungkan kalau harus membangunkanku tepat saat adzan subuh. Ia lebih memilih 15 menit menjelang matahari muncul untuk menyuruhku bangun. Ia tahu kalau aku sering tampak kelelahan.
“Hallo Bunda…assalamualaikum…” sapaku, di pagi itu. “wa’alaikum salam,” jawab Bunda. “Ayo cepet solat, tuh udah siang,” tambah Bunda. Aku berlari menuju kamar mandi. Beres solat, aku memilih tidur lagi di kamar. Saat aku mulai memejamkan mata, pintu kamarku terbuka pelan. Aku tahu pasti yang membuka pintu adalah Bunda. Aku tahu, tiap kali aku pulang, Bunda selalu saja membuka pintu kamarku hanya untuk memandangku. Ya, menatapku sejenak saja. Ia seperti memandangku lemas. Sesekali ia memandangku gelisah.
Entahlah, pagi itu aku merasakan ada tatapan Bunda aneh dari tatapan matanya yang lain. Tatap mata Bunda begitu menarik perhatianku. Tapi..akh mungkin Bunda hanya kangen padaku. Hingga, tatapan matanya begitu panjang. “Duh, Bunda, meski tubuhmu rapuh, engkau masih saja memperhatikanku dengan matamu yang dipenuhi rasa kasih. Meski aku sudah dewasa, engaku maih saja menyimpan rasa perhatianmu untukku. Perhatian teduh yang menyejukanku. “Nak sarapan dulu….” Lamunanku dikejutkan panggilan Bunda. “ Iya Buda…”
“Bunda sehat?” kataku.”Sehat Nak,” jawab Bunda. Aku pun terus makan. Dan dihadapanku masih ada Bunda yang terus menatapku. Dan aku bisa merasakannya. “Ada apa Bu, kok ibu ngelamun?” “Ah…nggak, ngga ada apa-apa kok…,” jawab ibu.
“Bu, ini ada uang sedikit, buat ibu. Buat apa aja yang ibu mau. Kalu kurang ibu bilang aja sama Badar.” Setengah terkejut ibu memandangku, ”Apa ibu nggak salah Nak. Udah simpan saja uang itu untukmu,” kata Bunda. “Buat bunda aja. Aku ingin Bunda merasakan gaji pertamaku. Ya, gaji hasil kerja pertamaku..” Bunda tersenyum. Ia menatapku tajam. Tak lama, ada nanar air mata di kelopak mata ibu. Bunda kelihatannya terharu.
“Nak…simpan saja uang ini. Buat beli-beli buku atau apa kek,” kata Bunda. Bunda tahu kalau aku senang membaca, karena itu ia berkata seperti itu. “Nggak Bu, buat Ibu aja…” Ibu kemudian pergi ke kamar. Ia menutup rapat pintu kamarnya. Dalam lirih suara angin, aku mendengar sengguk tangis bunda. Aku tak mengerti.
Tepat puku 4 sore, aku pamit sama Bunda. Senin pagi, aku harus berada lagi di Jakarta. Cium tangan dan peluk aku berikan buat Bunda. Saat pergi meninggalkan rumah, Bunda masih saja menatapku. Tatapannya hening dan sunyi. Aku melambaikan tangan; sun jauh buat Bunda. Dan aku melihat Bunda masih saja menatapku nanar, aku merasakannya.
Entahlah, aku tak tau ada apa dengan Bunda. Aku hanya menduga Bunda mungkin kangen sama aku. Disebut sakit, tidak juga. Tubuhnya masih terlihat kuat dan sehat. Entahlah…
Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Sebuah SMS datang menyapaku: “Bunda sering nangis kalau udah lihat berita di TV. Apalagi kalau udah liat berita kriminal dan kehidupan di Jakarta. Bunda cemas banget sama Ade. Di suka ngomong; Gimana ya Ade kabarnnya..mudah2an selamet.”
Aku baru sadar bahwa isyarat mata Bunda adalah kecemasan. Kekhawatiran seorang Bunda pada anaknya yang mulai menempa diri. Mandiri di kota yang jauh. Entahlan, air mataku tiba-tiba jatuh. Aku merasakan sesak mulai menghimpit dada. Matahari sore masih memagut sepi. Bibirku bergetar mengenang tatap mata bunda. Binar matamu adalah syurga. Nanar cemasmu adalah kasih. Terima kasih Bunda.
Kupersembahkan Buat semua para Bunda. Nanar matamu adalah syurga….
Graha Pena-jakarta
gerimispagiku@yahoo.com
Sumber; eramuslim
Tidurku tiba-tiba terganggu. Sebuah tangan menepuk pundakku. “Subuh, ayo cepet subuh, bentar lagi matahari tiba,” teriak Bunda. Aku tahu Bunda paling sering membangunkanku untuk solat subuh. Ia sepertinya sungkan kalau harus membangunkanku tepat saat adzan subuh. Ia lebih memilih 15 menit menjelang matahari muncul untuk menyuruhku bangun. Ia tahu kalau aku sering tampak kelelahan.
“Hallo Bunda…assalamualaikum…” sapaku, di pagi itu. “wa’alaikum salam,” jawab Bunda. “Ayo cepet solat, tuh udah siang,” tambah Bunda. Aku berlari menuju kamar mandi. Beres solat, aku memilih tidur lagi di kamar. Saat aku mulai memejamkan mata, pintu kamarku terbuka pelan. Aku tahu pasti yang membuka pintu adalah Bunda. Aku tahu, tiap kali aku pulang, Bunda selalu saja membuka pintu kamarku hanya untuk memandangku. Ya, menatapku sejenak saja. Ia seperti memandangku lemas. Sesekali ia memandangku gelisah.
Entahlah, pagi itu aku merasakan ada tatapan Bunda aneh dari tatapan matanya yang lain. Tatap mata Bunda begitu menarik perhatianku. Tapi..akh mungkin Bunda hanya kangen padaku. Hingga, tatapan matanya begitu panjang. “Duh, Bunda, meski tubuhmu rapuh, engkau masih saja memperhatikanku dengan matamu yang dipenuhi rasa kasih. Meski aku sudah dewasa, engaku maih saja menyimpan rasa perhatianmu untukku. Perhatian teduh yang menyejukanku. “Nak sarapan dulu….” Lamunanku dikejutkan panggilan Bunda. “ Iya Buda…”
“Bunda sehat?” kataku.”Sehat Nak,” jawab Bunda. Aku pun terus makan. Dan dihadapanku masih ada Bunda yang terus menatapku. Dan aku bisa merasakannya. “Ada apa Bu, kok ibu ngelamun?” “Ah…nggak, ngga ada apa-apa kok…,” jawab ibu.
“Bu, ini ada uang sedikit, buat ibu. Buat apa aja yang ibu mau. Kalu kurang ibu bilang aja sama Badar.” Setengah terkejut ibu memandangku, ”Apa ibu nggak salah Nak. Udah simpan saja uang itu untukmu,” kata Bunda. “Buat bunda aja. Aku ingin Bunda merasakan gaji pertamaku. Ya, gaji hasil kerja pertamaku..” Bunda tersenyum. Ia menatapku tajam. Tak lama, ada nanar air mata di kelopak mata ibu. Bunda kelihatannya terharu.
“Nak…simpan saja uang ini. Buat beli-beli buku atau apa kek,” kata Bunda. Bunda tahu kalau aku senang membaca, karena itu ia berkata seperti itu. “Nggak Bu, buat Ibu aja…” Ibu kemudian pergi ke kamar. Ia menutup rapat pintu kamarnya. Dalam lirih suara angin, aku mendengar sengguk tangis bunda. Aku tak mengerti.
Tepat puku 4 sore, aku pamit sama Bunda. Senin pagi, aku harus berada lagi di Jakarta. Cium tangan dan peluk aku berikan buat Bunda. Saat pergi meninggalkan rumah, Bunda masih saja menatapku. Tatapannya hening dan sunyi. Aku melambaikan tangan; sun jauh buat Bunda. Dan aku melihat Bunda masih saja menatapku nanar, aku merasakannya.
Entahlah, aku tak tau ada apa dengan Bunda. Aku hanya menduga Bunda mungkin kangen sama aku. Disebut sakit, tidak juga. Tubuhnya masih terlihat kuat dan sehat. Entahlah…
Tiba-tiba HP-ku berbunyi. Sebuah SMS datang menyapaku: “Bunda sering nangis kalau udah lihat berita di TV. Apalagi kalau udah liat berita kriminal dan kehidupan di Jakarta. Bunda cemas banget sama Ade. Di suka ngomong; Gimana ya Ade kabarnnya..mudah2an selamet.”
Aku baru sadar bahwa isyarat mata Bunda adalah kecemasan. Kekhawatiran seorang Bunda pada anaknya yang mulai menempa diri. Mandiri di kota yang jauh. Entahlan, air mataku tiba-tiba jatuh. Aku merasakan sesak mulai menghimpit dada. Matahari sore masih memagut sepi. Bibirku bergetar mengenang tatap mata bunda. Binar matamu adalah syurga. Nanar cemasmu adalah kasih. Terima kasih Bunda.
Kupersembahkan Buat semua para Bunda. Nanar matamu adalah syurga….
Graha Pena-jakarta
gerimispagiku@yahoo.com
Sumber; eramuslim
0 comments:
Post a Comment