Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu
Memang sungguh prihatin
dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP, namun
kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu, pada tulisan yang singkat ini
kami akan mengangkat pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat.
Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang
membaca tulisan ini.
Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang Lebih Besar dari Dosa Besar Lainnya
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin
bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah
dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh,
merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras.
Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah
serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah-
berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada
dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang
mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan
shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang
meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja-
dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan
shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang
yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar
sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang
berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Bisa Kafir alias Bukan Muslim?
Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa
meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa
berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini.
Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan
shalat masih muslim ataukah telah kafir?
Asy Syaukani
-rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di antara kaum
muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat karena
mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat karena malas
dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana kondisi
sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada perbedaan
pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan
shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada
tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat
pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus dibunuh
karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini adalah
pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An
Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al
Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah),
pendapat sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana
dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana
dikatakan oleh Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu
Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa
orang yang meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman had, namun tidak
dihukumi kafir. Inilah pendapat Malik, Syafi’i, dan salah salah satu
pendapat Imam Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat
dosa besar) dan dia harus dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat.
Inilah pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah,
22/186-187)
Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah
ini di antara para ulama termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum
meninggalkan shalat menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak
pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat saja.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا
الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ
وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya,
maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat,
beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut
adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang
tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini,
Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam- sebagai tempat
bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat (hawa nafsu).
Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang hanya
bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas,
sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang
merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim,
namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka
seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak
dimintai taubat untuk beriman.
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka
(mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] :
11). Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan
mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah
saudara seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah
mukmin karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala
berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits
Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah
shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.”
(HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan
hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ
”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya)
adalah shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi). Dalam hadits ini,
dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah seperti penopang
(tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh (ambruk) dengan
patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk dengan
hilangnya shalat.
Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir
Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir
Umar mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”
(Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath
Thobaqot, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad
Daruquthniy dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih,
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no.
209). Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul
maut, tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena
itu, hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’
(kesepakatan) sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam
kitab Ash Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang
yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir sebagaimana
dikatakan oleh seorang tabi’in, Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
pernah menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir
kecuali shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari
Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa
hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan
sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al
Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52)
Dari pembahasan
terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan perkataan sahabat
bahkan ini adalah ijma’’ (kesepakatan) mereka menyatakan bahwa orang
yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar dari
Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan
mengingkari pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir,
padahal hal ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah
dan kesepakatan sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat
memberi taufik).” (Ash Sholah, hal. 56)
Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari
kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat
oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat
juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari
hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada
perselisihan di antara para ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini
adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah
enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan
shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari
shahabat dan tabi’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering
dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat
yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim
secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah
pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut
terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal
‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir
hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika
seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan sebagian,
maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu
bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan
nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan
mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima
waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang
shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada
diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam
secara zhohir seperti pada masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini
(warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi
berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.” (Majmu’ Al
Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang
meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat
membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah
sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan
disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor
penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini
adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia
selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar
waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan
perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al
Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Penutup
Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang
selalu menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang
sering menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih
disia-siakan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob
–radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di antara perkara
terpenting bagi kalian adalah shalat. Barangsiapa menjaga shalat,
berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-nyiakannya,
maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi. Tidak ada bagian
dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
Imam Ahmad
–rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap orang yang
meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama. Seseorang
memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya terhadap
shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam Islam adalah
orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu. Kenalilah
dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau menemui Allah,
sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar Islam dalam
hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat Ash Sholah,
hal. 12)
Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini
(membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai
dengan melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan
tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad
(melaksanakannya dengan anggota badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan,
“Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya sekedar
membenarkan (meyakini) saja, tanpa melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman
hanyalah membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya,
kaum sholeh, dan orang Yahudi yang membenarkan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka mengenal
anak-anak mereka), tentu mereka semua akan disebut orang yang beriman
(mu’min-mushoddiq).“
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya
dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun iman adalah sesuatu yang
menancap dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.“ (Lihat Ash
Sholah, 35-36)
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi
kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan kerabat, saudara dan
sahabat kita mengenai bahaya meninggalkan shalat lima waktu.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu
‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam
***
Selesai disusun di Panggang, Gunung Kidul, 22 Jumadil Ula 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
0 comments:
Post a Comment